"A Palavra é do Tempo, o Silêncio da Eternidade"

21 de setembro de 2006

TIBO Cs

Tiga anak negeri menanti dengan pasrah saat-saat terakhir hidupnya. Perjuangan untuk mempertahankan karunia hidup, anugerah Tuhan yang terindah buat ciptaanNya, sepertinya sia-sia. Keadilan dan kebenaran di negeri ini siudah mati. Nama itu telah lama terkubur oleh kebusukan nurani para pemimpin negeri ini.
Tiga anak negeri telah dikambinghitamkan olh penguasa negeri ini. Mereka yang adalah anak-anak negeri sederhana, tanpa kuasa apa-apa dijtuhi vonis "aktor intelektual" dari suatu perseteruan antar sesama. Perjuangan dari segala penjuru muka bumi telah digalang untuk membangkitkan nurani akan kembali tegaknya kebenaran, keadilan, kejujuran, kedamaian... Tetapi semuanya sepertinya sia-sia. Para penguasa negeri ini sepertinya telah kehilangan nurani. Mata hati mereka telah buta, dibutakan oleh kekuasaan dan kepentingan sendiri. Anak-anak sederhana negeri ini ingin merontak, tapi entah bagaimana. Jalan dan cara telah ditempuh. Tapi apalah daya si kecil di hadapan sang pencabut nyawa.
Tapi perjuangan belumlah berakhir. Nyawa tiga anak negeri bukanlah akhir segala-galanya. Darah mereka adalah bukti perjuangan tanpa henti akan tegaknya kebenaran dan keadilan di negeri ini. Perjuangan harus terus berlanjut. Kita tetap percaya pada Dia yang berkuasa mencabut jiwa dan raga. Para penguasa bisa saja mencabut nyawa anak-anak negeri tapi tak sanggup mencabut jiwa mereka. Jiwa mereka adalh jiwa dan semangat juang kita. Kita tetap berdiri di garis depan memperjuangkan anugerah hidup yang teramat indah itu. Bila mereka terpaksa harus menumpahkan darahnya, itu bukanlah akhir dari segala-galanya. Masih ada kita untuk menyuarakan kebenaran. Mati satu tumbuh seribu... itulah semboyan kita.