"A Palavra é do Tempo, o Silêncio da Eternidade"

11 de abril de 2007

Tapaleuk di Lisbon


Perjalananku sore ini tak seberapa jauh. Musim dingin telah pergi digantikan oleh musim semi, namun udara dingin masih juga terasa. Cuaca sore ini tidak begitu bersahabat tapi tak ada tanda-tanda akan turun hujan. Cuma untuk sedikit mengusir kepenatan di tengah kesibukan harian, aku membuang langkah ke luar. Tempat tujuanku belum pasti. Tapi aku mau jalan-jalan.
Aku akhirnya tiba di pusat kota Lisabon. Kota tua nan indah dan megah yang menyimpan berjuta catatan sejarah. Monumen-monumen bersejarah yang tersebar di kota ini adalah saksi hidup kejayaan masa lampau.
Siapa sangka kota tua namun terawat dan tertata rapi ini (karena itu sebaiknya disapa kota antik?) telah menjadi pusat dunia? Ah, siapa pernah bermimpi di suatu hari akan menginjakkan kaki di sini? Aku pun tidak. Tapi siapa sangka aku kini berjalan-jalan di kota ini?
Aku sudah sering dan sering berkeliling di seputar alun-alun ini, namun selalu dan selalu saja ada sesuatu yang baru. Matahari musim semi perlahan mulai tersenyum. Di sana-sini terlihat orang mulai berjemur matahari. Banyak sekali turis yang lalu lalalang, tentunya datang mencari cuaca yang lebih panas, maklumlah cuaca di sini masih jauh lebih bersahabat dari cuaca di negara-negara lain di Eropa.
Aku cuma mondar-mandar, sesekali berdiri diam menatap artis-artis jalanan. Di balik jalan sana ada galeri para pelukis di pelataran toko. Musik tradisional samar-samar terdengar dari speaker yang tersebar di sudut-sudut jalanan.
Aku termenung, spertinya bertanya pada diri sendiri, mungkin setiap benda, sampai batu-batu jalanan, di pusat kota ini punya sejarahnya. Ah Lisabon... Sore yang kembali indah di awal musim semi. Kepenatanku telah pulih. Aku punya inspirasi: mari mencatat sejarah sebelum ia terlupakan!