"A Palavra é do Tempo, o Silêncio da Eternidade"

23 de outubro de 2009

Rasa

Awan hitam bergerak perlahan, membelah angkasa yang sedari tadi dipermainkan kabut putih musim ini. Angin semilir berbisik halus, menghentak kesunyian senja yang perlahan turun mendekati malam. Semburat mentari samar-samar masih terlihat menampakkan keanggunannya di tengah gumpalan tebal awan hitam. Pohon-pohon diam membeku, tak tergiur alunan sepoi, tuk menari-nari kecil. Bangunan-bangunan tua diam membisu, seakan meneriakkan kegelisahan malam. Sunyi ini terasa begitu gaduh, sampai-sampai terdengar jelas suara gemuruh rintihan malam.
Ada yang protes, ada yang gelisah. Mengapa senja ini tak sehiruk biasanya. Ada rasa terusik oleh gaduhnya kesunyian. Ada yang tak biasa. Ada yang luar biasa. Memang, hidup dalam kegaduhan dan keributan sering mematikan rasa sunyi. Dan ketika sunyi itu datang, ia terasa bagai sembilu menyayat kalbu. Sunyi itu ternyata lebih gaduh. Sunyi itu ternyata membangkitkan gejolak.
Ada yang tak biasa, ada yang tak terbiasa hidup dalam sunyi karena telah terbiasa merasakan gempita. Karena itu ketika sunyi itu datang, ia lebih dingin dari es kutub utara, karena nubari ditelanjangi di depan diri sendiri, nurani dihadapkan pada wajah diri sendiri. Karena itu dalam kesunyian orang takut berhadapan dengan diri sendiri, lalu lari ke luar mencari eksistensinya dalam hiruk sebab di sana ia tak harus berhadapan dengan adanya sendiri.
Ternyata sunyi itu lebih gaduh buat yang tak terbiasa berhening...