"A Palavra é do Tempo, o Silêncio da Eternidade"

20 de novembro de 2007

MAKNA KEHIDUPAN


November ini tengah berjalan menuju ke tepian batasnya. Dua puluh hari berlalu sudah sejak bulan ini bernama november. Cuaca dan iklim di luar sana memberitakan kalau sekarang musim gugur lagi berkuasa. Titik-titik air dari langit membasahi bumi ini. Dingin musim ini mulai menampakkan kehadiannya. Daun-daun hijau berganti kuning, lalu jatuh satu persatu ditiup angin senja. Jalanan ini penh dengan dedaunan yang telah mengucapkan kata pisah dari ibu sang pohon, pergi bersatu dengan sang bumi, sang pemberi makan selama ia serumah dengan ibunya.

Musim ini berkisah demikian. Namun di sana ada satu tanda kehidupan. Ada yang lahir. Atau tepatnya ada yang lahir baru lagi. Hari ini, hari kedua puluh sejak bulan ini bernama november, ada yang bersorak riang mengingat saat pertama beinh kehidupan mulai hadir di bumi ini. Ada yang berkisah tentang kehidupan di tanah ini. Ada yang lahir baru bersama lahirnya mentari di hari kedua puluh bulan ini.

Tiga puluh tahu berlalu tanpa ada yang pernah bertanya mengapa harus lahir lagi. Kita tahu ketika tiba saatnya kita merayakan hari kelahiran kita. Otomatis. Mau tidak mau. Tapi terkadang kita terbuai oleh indahnya hari tanpa memikirkan mengapa. Mungkin di sinilah tempat kita memaknai kehidupan kita. Hidup itu hanyalah punya makna ketika kita memberi makna kepada kehiduan itu sendiri. Kita belajar hidup dari menghidupi hidup itu sendiri.

Di saat seperti ini jiwa kembali melayang, mengenang tapak-tapak kehidupan dalam bergagai corak dan warna. Kenangan demi kenangan terlukis satu per satu dalam baris-baris berlekuk dari buku kehidupan kita.

Baris demi baris kita ukir, lembar demi lembar kita baca. Ada di sana lukisan tangan kita. Ada lukisan kehidupan. Ada tulisan tentang hidup dan kehidupan kita.

Syukur berlimpah kepada Sang Pemilik Kehidupan. Terima kasih buat semua.

Kita punya hak atas hidup dan kehidupan tapi sekaligus kita punya kewajiban untuk menghidupi kehidupan itu.