"A Palavra é do Tempo, o Silêncio da Eternidade"

17 de dezembro de 2007

Mempertanyakan Nilai Keberagamaan di Tanah Air

Dari berbagai berita yang tiba dari tanah air belakangan ini tak sedikit yang mencemaskan dan menggelisaukan. Salah satu di antara adalah "perampasan" atas hak menjalankan ibadah dari segelintir orang atau kelompok tertentu terhadap penganut agama lain. Mencemaskan memang! Di negeri di mana kebebasan beragama diatur oleh Konstitusi dan kebebasan menjalankan ibadah menjadi hak setiap warga negara masih ada saja tindakan semacam ini. Anehnya lagi berbagai pengrusakan, penyerbuan dan penyegelan terhadap rumah-rumah ibadah mencakup agama-agama resmi yang diakui negara. Bahkan pemerintah dan pihak keamanan tidak menjamin sama sekali berlakunya hukum secara adil. Mengherankan memang, di abad pos-modern ini kita masih seperti para penghuni hutan rimba dengan hukum hutan rimbanya.
Pertanyaan mendasar perlu dikedepankan berhadapan dengan kenyataan ini: seberapa dalam nilai keberagamaan warga-warga negeri ini yang "katanya" pancasilais? Benar-benar beradapkah kita? Sejauh mana tata susila kita dipraktekkan? Jawaban paling ekstrim mungkin ini: tidak seberapa jauh dari sekedar ucapan di mulut dan bibir!
Tingkah laku sebagian orang membawa kita mengeneralisasi semua warga tanah air semacam ini. Tentunya bukanlah demikian tapi kita harus berani mengeritik diri sendiri.
Dari negeri seberang kita dengan mudah merasakan bagaimana jauh berbedanya praktek kehidupan bermasyarakat kita. Enak rasanya hidup di negara berdemokrasi yang benar-benar demokratis, dimana rakyatlah yang pertama dan terutama. Pedih rasanya hidup di negeri demokrasi hanya pada nama. Main hakim sendiri tanpa sedikitpun rasa kemanusiaannya.
Kegelisauan hati ini sampai membawaku berpikir apakah masih ada orang di tanah air yang menggunakan otaknya untuk berpikir kritis. Jangan sampai jumlah penduduk yang terlampau banyak membuat orang tidak lagi berpikir. Pekerjaan berpikir hanya dikhususkan kepada segelintir orang yang mau berpikir dan bertindak kritis. Mungkin sebagian besar sudah tidak berpikir lagi. Otak di kepala mereka cuma bagian tak terpisahkan dari tubuh yang tak berfungsi selayaknya, kebetulan mereka sudah terlahir demikian. Benarkah? Mudah-mudahan tidak.
Manusia adalah satu-satunya makluk ciptaan yang dilengkapi akal budi untuk berpikir dan bertindak kritis. Insting dan naluri alamiah hanya dimiliki makluk ciptaan yang bukan bernama manusia. Apakah kita mau "mencaplok" milik alamiah makluk ciptaan lain dengan menghidupi insting dan naluri tanpa akal budi? Banyak tingkah laku kita menunjukkan kalau kita tidak lebih dari.... makluk-makluk yg cuma berinsting dan bukannya berakal budi.
Kegalauan hati ini mungkin cuma sebuah penilaian subyektif belaka, namun situasi hidup beragama di tanah air yang kelabu membawaku berpikir demikian.
Aku beragama A mungkin karena kebetulan aku lahir dari keluarga dan lingkungan beragama A. Tapi aku bisa saja beragama B kalau aku lahir dari keluarga beragama B. Dari pikiran sederhana ini membawaku untuk tidak menganggap diri lebih dari yang lainnya karena aku bisa saja menjadi bagian dari yang "lain" itu. Ini cumalah contoh sederhana untuk tidak memusingkan otak untuk berpikir banyak. Namun ada banyak contoh lain yang lebih mendalam dan mendasar kalau kita memang benar-benar berakal budi dan mau memfungsikan otak kita untuk berpikir kritis sesuai fungsinya.
Akhirnya aku harus mengadukan rasa keberagamaan negeriku sendiri ke depan pengadilan akal budi untuk mencari tahu apakah warga-warga negeri ini juga termasuk dalam kelompok makluk berakal budi yang bisa bertindak dan berbicara sesuai nilai kemanusiaannya yang paling hakiki!
Akhir tahun yang merisaukan...