"A Palavra é do Tempo, o Silêncio da Eternidade"

25 de dezembro de 2009

Damai di Bumi, Damai di Hati



Jarum jam perlahan-lahan berputar mendekati pukul 23.30. Waktu yang ditetapkan untuk perayaan malam Natal. Gerimis sejak tadi menetes satu-satu. Tiada angin. Semua terasa sunyi. Ini berbanding terbalik dengan laporan berita dari tempat lain bahwa sedang terjadi cuaca buruk, aliran listrik dan air terputus sehingga banyak keluarga akan menjalankan malam Natal benar-benar dalam kegelapan.

Aku beranjak keluar. Rintik hujan sudah mulai reda. Suasana senyap. Banyak keluarga sedang berkumpul bersama dalam jamuan malam Natal sebagaimana lazimnya tradisi Natal di sini. Aku memutuskan untuk berangkat setengah jam lebih awal ke Gereja. Kukumpulkan perlengkapan yang perlu, tak terlupa kaus tangan dan penutup kepala.

Perlahan-lahan kuberanjak pergi. Polo MZ bergerak lambat menuruti keinginan hatiku. Lampu-lampu hias dijalanan bersinar terang. Tak ketinggalan hiasan rumah-rumah penduduk turut menambah semaraknya malam Natal. Teduh, tenang. Tak kudengar riuh gemuruh. Semua seakan larut dalam keheningan. Tak biasa!

Kutiba di pemukiman, di atas puncak bukit. Kulihat jelas pemukiman di bawah sana, diterangi lampu-lampu. Satu dua orang mulai berarak menuju Gereja. Ada yang sudah tiba di sana sedari tadi. Cafe di samping Gereja terlihat ramai.

Perlahan-lahan lonceng gereja berdetak, pertanda sebentar lagi perayaan malam Natal akan berlangsung. Satu, dua sapaan dan persiapan akhir bersama. Udara terasa dingin di atas bukit ini. Untung ada satu pemanas difungsikan. Bangku-bangku gereja perlahan dipenuhi umat. Ada yang datang natalan di sini bersama keluarga. Mereka dari sini tapi bekerja atau sekolah di luar.

Tepat pukul 23.30 perayaan dimulai. Arakan bersama Bayi mungil diiringi lantunan kidung Natal. Syahdu, tenang. Ya, inilah malam damai, malam Natal. Saat-saat yang syahdu merasuki kalbu, mengenang tapak-tapak perjalanan hidup. Natal, lahir baru, hidup baru.

Dalam kegemerlapan eksterior yang penuh gaduh, Natal sebenarnya adalah kesederhanaan. Sang Bayi Yesus lahir dalam segala kesederhanaan. Dalam dingin malam, tiada tempat di penginapan, Ia lahir di palungan hewan, dibungkus secarik lampin, dibaringkan dalam kandang hewan. Ia lahir dalam kesederhanaan bersama mereka yang sederhana. Namun dalam kesederhanaan ini ada kedamaian, ada suka cita dan rasa bahagia di hati. Paduan suara para malaikat bersama para penggembala melantunkan madah pujian "Gloria in excelsis Deo et pax in terris", Kemulian kepada Allah dan damai di bumi...

Apalagi yang mau diharapkan di malam Natal ini selain damai di hati dan damai di bumi? Memang Natal tidak dirayakan sedamai yang diharapkan di semua tempat, namun spirit damai inilah yang tetap menjadi impian semua orang yang berkehendak baik.

Perayaan berjalan khidmat. Anak-anak terlihat bahagia, bergoyang kecil mengikuti alunan musik natal. Ada yang terlihat sendu, terpekur dalam pikirannya. Mungkin ada alasan untuk itu. Di tengah gundahnya situasi hidup, situasi dunia dan planet kita, ada saja pertanyaan yang terus mencari jawab.

Malam pergi. Dini hari datang berarak menyambut pagi. Malam Natal pun pergi, namun ada bekas tertinggal di sanubari ini...