"A Palavra é do Tempo, o Silêncio da Eternidade"

6 de outubro de 2006

Bahasa Daerah dan Identitas Kedaerahan Kita

Tulisan sederhana ini sekedar ingin merefleksikan sebuah pengalaman dari kenyataan yang disadari atau tidak, berperan dan memainkan peranan penting dalam menunjukkan identitas kedaerahan kita. Pengalaman dari kenyataan ini sekaligus mencemaskan dan memprihatinkan akan hilangnya atau pudarnya identitas daerah itu, yakni pemakaian bahasa daerah (baca: Bahasa Dawan).

Mungkin bagi kebanyakan orang terlalu mengada-ada kalau berbicara tentang keprihatinan akan kelanjutan dan kelestarian bahasa ibu kita, bahasa Dawan. Alasannya bahwa dalam kenyataannya hampir semua orang di daerah Pah Meto bisa berbahasa Dawan.

Memang benar. Tetapi kalau kita mencoba untuk sejenak melihat dan merefleksikan kenyataan yang terjadi di lapangan, kita akan sepakat kalau sudah sejak lama bahasa daerah kita “dihambat” untuk bertumbuh dan berkembang sewajarnya. Satu pengalaman nyata yang boleh kita renungkan bersama. Masih segar dalam ingatan saya bahwa ketika masih duduk di bangku sekolah dasar kami dilarang menggunakan bahasa Dawan di lingkungan sekolah. Di satu sisi, larangan ini cukup membantu para murid untuk sedapat mungkin bisa belajar menggunakan bahasa Indonesia yang nota bene adalah bahasa nasional kita. Tetapi, di sisi lain, kita sebenarnya menghambat apa yang sebenarnya harus bertumbuh dan berkembang secara alamiah.

Ada seorang teman yang pernah membagi pengalamannya lewat milis TIMORMANISE (sebuah forum diskusi orang Timor via internet) ketika berdiskusi tentang bahasa daerah, bahwasannya ada teman-teman orang Timor yang baru mulai belajar bahasa daerah ketika berada di Jawa. Ada yang mengatakan bahwa kita lebih mengenal Ken Arok dan Ken Dedes dari pada Ken Sulat di Kefa. Atau berapa banyak kalangan muda yang tahu tarian atau mau menari gong saat pesta-pesta adat? Mungkin pengalaman-pengalaman ini cukup menggelikan (atau memalukan?) tetapi itulah kenyataannya. Suatu kenyataan yang umumnya terjadi di kalangan muda, generasi penerus budaya daerah.

Selanjutnya kita boleh bertanya, misalnya, berapa banyak orang asli TTU di kota Kefa yang bisa berbahasa Dawan? Jawabannya terbuka untuk kita semua. Tetapi kalau kita mau jujur ternyata cukup banyak yang hanya bisa berbahasa Indonesia dan kehilangan bahasa ibunya meskipun mereka adalah orang asli TTU.

Mengapa demikian? Entahlah. Saya tidak mempunya jawaban pasti untuk pertanyaan ini. Tetapi adalah suatu kenyataan bahwa orang-orang muda di zaman moderen ini merasa malu menggunakan bahasa daerahnya karena akan (takut) disebut orang kampung atau kampungan. Orang merasa kehilangan harga dirinya kalau berbahasa daerah.

Mungkin secara psikologis kita terbius oleh mental membeda-bedakan antara atônê/atôên kuan (orang kampung) dan atônê/atôên kase (orang kota) di satu sisi; uab meto' (bahasa Dawan) dan uab labit (bahasa Indonesia) di sisi lain, dengan logika ini: Atôên kuan berbahasa Dawan dan atôên kase berbahasa Indonesia (maaf kalau saya keliru!).

Sekian lama kita dibiasakan dan akhirnya terbiasa untuk mengedepankan dan mengutamakan ketunggalan, keseragaman, kesamaan dan melupakan atau sengaja mengesampingkan kebhinekaan, keanekaragaman kita. Akibatnya kita merasa malu, minder atau lebih parahnya takut untuk berbeda dengan orang lain. Kita takut mengungkapkan pendapat pribadi yang berbeda dengan pendapat orang lain karena akan dicap pembangkang, lawan, musuh. Padahal justeru sebaliknya, perbedaan dan keanekaragaman dapat memperkaya wacana berpikir kita. Keseragaman banyak kali mendatangkan monotonia dan kebosanan. Yang terpenting bahwa perbedaan itu beralasan dan dapat dipertanggungjawabkan.

Mengemukakan hal ini sama sekali tidak bermaksud menentang kesatuan dan kenasionalan kita. Tetapi yang dimaksud di sini supaya kita pertama-tama mampu mengerti dan mamahami ciri khas kedaerahan kita (baca: budaya) agar ketika kita memproyeksikan diri ke luar, kita membawa sesuatu yang mampu memperkaya kesatuan kita dalam arti yang lebih luas. Dan di saat bertemu dan berinteraksi dengan kenyataan ekstern kita tidak mudah tercabut dan terasing dari ciri khas kedaerahan kita sendiri. Atau dengan kata lain, supaya ketika orang berbicara “tentang kita”, kita sendiri tidak menjadi asing dengan kekitaan kita dan mampu menilai benar tidaknya atau objektif tidaknya penilaian orang lain tentang kita.

Orang Dawan mempunyai kekayaan budaya yang senilai dan sederajat dengan kebudayaan lain, dalam arti bahwa tak ada satu budayapun yang lebih atau kurang, baik atau buruk, termasuk bahasa, tentunya. Bahasa Dawan sebagai salah satu unsur budaya itu dapat sangat membantu kita untuk lebih mengerti secara mendalam, misalnya, filsafat hidup kita, sastra (takanab, ceritera lisan dsb) dan adat-istiadat. Bidang studi Muatan Lokal di sekolah-sekolah dasar saat ini kiranya menjadi makin intensif dan efektif untuk menyadarkan dan mengarahkan kita kembali ke akar kekitaan kita –bagi yang sudah terlanjur “keluar” jauh- dan menjadi benih rasa cinta budaya daerah bai kuncup-kuncup muda yang sedang berkembang.

Kiranya refleksi sederhana ini dapat mengarahkan hati kita untuk turut prihatin dan sekaligus menyadari pentingnya rasa memiliki budaya sendiri sebagai identitas kedaerahan kita. Ataukah kita masih mau terus “merasa malu” dengan milik kitasendiri?


* Penulis, mahasiswa pada Faculdade de Teologi da Universidade Católica Portuguesa, Lisboa-Portugal.


(Tulisan ini pernah dimuat di situs Internet Kabupaten TTU, www.pemkab-ttu.go.id, dengan perubahan dan tambahan seperlunya).

1 Comments:

Anonymous Anónimo said...

Aokbian,

Taëku tfain. Onme, leko ka? Au ufnekan he onnane piuta. Au 'fe ko selamat neu blog i! I au tamas ahunut; lof a-'fain oum he 'kios ma 'baca ma, kalu nabeî, lof a-'fe komentar kleö. Blog i lo alekot ma namás bae. Au 'lomi ma ufnekan he in a-njail "jendela smanaf" he nabeon ho tenab ma sinmakat ok-okê neu pah-pah.

Ntom neu hit uab, au ka umolof fa namfau, ala ufnekan he in natua hit nekak piuta masi tasi amanuat ma 'nuüf amnanut naëkâ kita. Mutis in foto nbin blog i lo namás bae. Ho es maiti ka?

Uis-Neno in tetus ma nít nok ko piuta nbin ho monit neno-neno.

21/11/2006, 04:41:00

 

Enviar um comentário

<< Home