"A Palavra é do Tempo, o Silêncio da Eternidade"

19 de julho de 2009

Di Bawah Naungan Beringin



Di bawah naungan pohon beringin ia duduk termenung. Ia tertunduk, menatap tanah tempat ia berpijak. Dalam diam, tanpa kata. Ibu bumi seolah mati. Tanpa suara. Lelaki tua itu menatap dalam diam, merenung, entah tentang apa. Ia berangan dalam desiran angin di bawah naungan beringin.

Mentari yang kian menukik makin memperberat helaan napasnya. Mungkin ia kelehan, mungkin ia kecapaian. Tidak ada alasan buat tersenyum, meski kicau burung ramai terdengar dari rindang pohon beringin. Mungkin mereka tidak tahu, mungkin pula mereka enggan mengetahui.

Lelaki tua itu duduk bersandar pada perkanya pohon beringin, dalam naungan kesunyian kampung bak tak berpenghuni. Perlahan ia mengatupkan mata dan jatuh tertidur. Lelap. Lelap dalam diam. Lelap dalam hiruk kicau burung.

Ia cuma ingin beristirahat. Lari dari penat keseharian hidup. Ia cuma ingin nikmati sejuk naungan beringin. Beristirahatlah. Hidup itu punya cerita. Ada angan dibawa angin. Datang mendekat dan pergi menjauh. Beristirahatlah. Hidup memang punya cerita.