"A Palavra é do Tempo, o Silêncio da Eternidade"

30 de setembro de 2006

Aku mencari bayang-bayang diriku dalam bayang-bayang cemin malam. Ada di sana, di bawah sana, di keheningan malam suara sang musafir mencari nama. Ada yang lain di wajahnya. Aku terus berjalan di lorong-lorong tak bertuan. Ingin rasanya mencari yang lain dalam adaku. Apa dan ke mana harus kucari diriku? Ternyata aku keliru. Adaku ada di sini, di dalam sini. Adaku adalah diriku. Aku mencari sesuatu yang ternyata begitu dekat dengan adaku.
Itulah kekeliruan manusia zaman ini, mencari adanya di luar dirinya sendiri.

28 de setembro de 2006

Aku mencari diriku dalam bayang-bayang malam. Di sana, di ujung jalan cahaya lampu malam bersinar samar-samar. Di bayang-bayang malam ada cahaya bersinar dari atas sana, cahaya rembulan dan bintantang-bintang. Malam-malam ini "downtown" kota ini, Lisbon, diterangi lampu-lampu beraneka buah tangan artis-artis dalam rangkaian acara "LuzBoa" (Luz=cahaya, sinar; Boa=baik, bagus, indah).
Di sini di lorong-lorong kota ini kucari diriku. Kubertanya pada cahaya-cahaya buatan ini, kalau aku dapat menemukan diriku.
Apa kekeliruanku?
Aku mencari adaku di luar diriku sendiri, padahal adaku adalah adaku; adaku adalah diriku. Ia ada di sini, di dalam diriku.

26 de setembro de 2006

Semester baru

Hari-hari libur musim panas telah berakhir. Musim panas berlalu, tibalah musim gugur. Bersama itu semester baru kembali dimulai. Buku catatan hidup kembali terbentang di hadapan mata. Ada pena di tangan, ada buku tulis dalam genggaman. Buku-buku referensi dari para dosen bertumpukan. Satu persatu pekerjaan rumah bertambah. Beginilah nasib anak sekolah. Tapi inilah masa-masa paling indah untuk dinikmati dan dimanfaatkan sebaik mungkin. Masa depan ada dalam perjuangan hari ini. Kupersembahkan seluruh perjalananku kepada Sang Kebijaksanaan ilahi. Dialah sumber kebijaksanaanku.

23 de setembro de 2006

Selamat Jalan

Karangan bunga ini buatmu saudara-saudaraku
yang kubawa dalam genggaman nurani nan pedih
mengarak kalian pergi
ke tempat peristirahatan terakhir.
Selamat jalan saudara-saudaraku
Fabianus Tibo, Dominggus da Silva dan Marianus Riwu.
Hati kami memberontak
jiwa kami merinding,
kami terbakar amarah sendiri.
Peluru dari senapan sang penguasa
telah merenggut nyawamu tak bernilai
namun semangatmu tak mati tertembak.
Kami percaya teguh
tetesan darahmu adalah kekuatan perjuangan kami.
Perjuangan belum berakhir
karena ketidakadilan, kebengisan dan kekejian
masih terus melanda anak negeri ini.
Mati satu tumbuh seribu, itulah semboyan perjuangan kami.
Kalian tak mati sia-sia
kalian tak hilang begitu saja.
Namamu akan tetap dikenang
semangatmu akan tetap berkobar
di da anak-anak negeri ini
yang masih damba akan kedamaian, cinta kasih dan keadilan.
Perjuangan mereka yang setia membelamu sepertinya sia-sia
tapi tidak
karena masih ada hari esok
untuk perjuangan yang sama.
"Bapa, ampunilah mereka sebab mereka tak tahu apa yang mereka perbuat..."
Selamat jalan saudara-saudaraku
beristirahatlah dalam damai
doa kami menyertaimu ke pembaringan dan peristirahatan abadi.
Doakan kami juga
yang masih terus berjuang demi tegaknya kebenaran dan keadilan di negeri ini.

21 de setembro de 2006

TIBO Cs

Tiga anak negeri menanti dengan pasrah saat-saat terakhir hidupnya. Perjuangan untuk mempertahankan karunia hidup, anugerah Tuhan yang terindah buat ciptaanNya, sepertinya sia-sia. Keadilan dan kebenaran di negeri ini siudah mati. Nama itu telah lama terkubur oleh kebusukan nurani para pemimpin negeri ini.
Tiga anak negeri telah dikambinghitamkan olh penguasa negeri ini. Mereka yang adalah anak-anak negeri sederhana, tanpa kuasa apa-apa dijtuhi vonis "aktor intelektual" dari suatu perseteruan antar sesama. Perjuangan dari segala penjuru muka bumi telah digalang untuk membangkitkan nurani akan kembali tegaknya kebenaran, keadilan, kejujuran, kedamaian... Tetapi semuanya sepertinya sia-sia. Para penguasa negeri ini sepertinya telah kehilangan nurani. Mata hati mereka telah buta, dibutakan oleh kekuasaan dan kepentingan sendiri. Anak-anak sederhana negeri ini ingin merontak, tapi entah bagaimana. Jalan dan cara telah ditempuh. Tapi apalah daya si kecil di hadapan sang pencabut nyawa.
Tapi perjuangan belumlah berakhir. Nyawa tiga anak negeri bukanlah akhir segala-galanya. Darah mereka adalah bukti perjuangan tanpa henti akan tegaknya kebenaran dan keadilan di negeri ini. Perjuangan harus terus berlanjut. Kita tetap percaya pada Dia yang berkuasa mencabut jiwa dan raga. Para penguasa bisa saja mencabut nyawa anak-anak negeri tapi tak sanggup mencabut jiwa mereka. Jiwa mereka adalh jiwa dan semangat juang kita. Kita tetap berdiri di garis depan memperjuangkan anugerah hidup yang teramat indah itu. Bila mereka terpaksa harus menumpahkan darahnya, itu bukanlah akhir dari segala-galanya. Masih ada kita untuk menyuarakan kebenaran. Mati satu tumbuh seribu... itulah semboyan kita.

14 de setembro de 2006

KAWAN
Ada kata kawan dalam nubari
tersimpan di sana kenangan kita
yang kita catat hari kemarin
dengan bening mata air bumi
pada lembaran-lembaran hidup penuh warna.
Kini catatan-catatan itu kembali kubuka
dan lembaran-lembaran itu kembali hadir
dalam nada rindu
mengukir kembali kata "kawan"
dalam nubari sang waktu.

Hidup dan kekitaan kita

Sandarkan harapanmu pada Dia yang dengan setia membimbingmu. Percayakan adamu pada Dia yang mengahadirkanmu. "Dalam Dia ada hidup dan hidup itu adalah terang manusia", demiakian kata sang Rasul. Hidup itulah yang kita hidupi saat ini. Dari dialah kita hidup dan menghidupi ada kita saat ini. Kita hidup dan menghidupi kekitaan kita dalm rentang waktu dan batas ruang. Kita ada dan ada kita membatasi kekitaan kita. Tapi berapa banyak orang yang sadar sepenuhnya akan adanya? Siapa berpikir dan berefleksi tentang siapa dan apa dia, dari mana dia berasal dan ke mana ia akan pergi? Kita tidak akan pernah menjawab tuntas dan sepastinya pertanyaan-pertanyaan eksistensial ini. Tapi kita terus dililiti oleh tanya yang selalu menanti jawab. Sampai akhirnya kita tiba pada kesadaraan ada kita bahwa kita sebenarnya bukanlah apa-apa. Kita cumalah ciptaan dari Dia yang mencipta, Sang Pencipta.

12 de setembro de 2006

Há sempre alguém
a cruzar o teu caminho.
Não o deixe passar despercebido
talvez haja algo a dizer
no cruzar dos olhos.

11 de setembro de 2006

11 September
dalam kenangan
waktu mencatat sejarah
anak manusia terhenyak
ada yang lain di bumi ini

10 de setembro de 2006

Pada mulanya adalah Harapan
Harapan itu tetap hidup
Dan harapan itu pun menjadi pedoman hidup:
belajar mencintai dan menjadi bahagia

3 de setembro de 2006

di bola matamu
tersimpan sejuta harapan
yang kembali menghidupkan asaku
ketika aku tak lagi yakin
kalau langit tak selamanya biru

ada apa denganmu, kawan?
ada apa-apa
atau tak ada apa-apa
kupercaya pada adamu

USIA

Waktu terus mengukir usia dalam waktu. Hari berlalu, waktupun berganti. Usia terus bertambah. Kita berjalan dalam untaian waktu. Usiapun terus bertambah mengikuti irama untaian ini.